Langsung ke konten utama

Sekilas Purwokerto: Dewi dan Kreditur Informal




Kisah pilu Dewi Anggraeni (11), gadis kecil dari Kampung Rahayu, Purwokerto Selatan, Jawa Tengah, tidak bisa tidak menyisakan rasa sesak di dada. Setidaknya, bagi manusia yang masih berhatinurani.

Bagaimana tidak, belum sembuh dukanya ditinggal ibu yang meninggal setelah menderita sakit paru-paru, siswa kelas 3 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Karangklesem, ini terpaksa menjadi seorang pengemis untuk melunasi utang kepada kreditur informal alias rentenir.

Ya, almarhum ibu Dewi sempat berutang sebesar Rp2 juta kepada pemilik kontrakan rumah petak yang dihuninya di Kampung Rahayu. Tidak hanya itu. Dengan akumulasi beban bunga pinjaman dan ditambah biaya perawatan rumah sakit ibunya sebelum ajal menjemput, utang keluarga Dewi pun menjadi Rp6 juta.

Tentu saja menjadi perkara sulit bagi gadis cilik ini untuk melunasi utang dengan nominal relatif besar itu. Ayah Dewi entah di mana. Bertahun-tahun tak nampak batang hidungnya, seperti enggan mendampingi hidup anak istrinya.

Alhasil, Dewi terpaksa menjadi pengemis di perempatan jalan Kota Purwokerto untuk mampu mencicil utang itu. Sekaligus, agar mampu memenuhi biaya hidup hariannya. Apalagi, sepeninggal ibunya Dewi diajak tinggal bersama keluaraga Sriwati, tetangga yang bekerja sebagai tukang cuci baju dalam kesehariannya.

Setiap hari, Dewi sekurangnya mesti mengumpulkan uang Rp70.000. Rinciannya, Rp50.000 akan digunakan untuk mencicil utang, sedangkan sisanya akan disetor kepada Sriwati.

Aktivitas itu pun dimulainya sejak sepulang sekolah hingga larut malam guna memenuhi tuntutan tagihan rentenir dan juga ibu ‘angkatnya’. Tak jarang, Dewi menangis di tepi jalan karena tidak mampu memenuhi target hariannya.

Musaffa, Pembina Yayasan Sri Rahayu yang akhirnya mampu membuka kisah Dewi kepada masyarakat, menuturkan anak malang itu megnemis selama 21 hari sebelum akhirnya permasalahan itu dikabarkan media. Padahal, gadis cilik itu ditargetkan menyetor cicilan utang harian hingga lima bulan ke depan.

“Setelah empat kali kami melapor ke dinas sosial dan juga ke PSPA [Panti Sosial Patirahan Anak] milik Kementerian Sosial di Baturaden, akhirnya awal bulan ini masalah Dewi ditanggapi,” katanya.

Kini, Dewi dititipkan di Panti Sosial Patirahan Anak (PSPA) Kementerian Sosia di Baturaden dan kembali bersekolah di SD Negeri 1 Ketenger Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah.

Namun, ternyata kisah dewi dengan ‘tukang riba’ ternyata tidak menjadi kasus tunggal di Kabupaten Banyumas. Musaffa menjelaskan setidaknya ada 100 orang di Kampung Rahayu, kebanyakan melibatkan anak-anak, terpaksa mengemis untuk melunasi beban utangnya kepada lima oknum ‘pemain keuangan’ di wilayah itu.

Mereka terpaksa mengemis agar mampu menyediakan setoran yang berkisar Rp40.000-Rp150.000, karena dibebankan biaya bunga 1% per hari. Sebelumnya, ungkap Musaffa, layanan jasa keuangan tak resmi itu pun terpaksa dipilih mereka di tengah himpitan kesulitan ekonomi.

“Yah, mereka sudah miskin. Meski ber-KTP dan punya kartu keluarga di sini, mereka tidak punya tempat tinggal, hanya mengontrak tanah, petakan, dan kamar kos,” jelas Musaffa, “ Perbankan melihat komunitas masyarakat ini dengan sebelah mata.”

Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan Purwokerto Farid Faletehan pun mengakui aksi kreditur informal di wilayah tersebut masih jamak terjadi. “Di Banyumas, masih banyak rentenir,” ujarnya.

Tidak hanya itu, ragam permasalahan jasa keuangan ilegal lainnya seperti investasi bodong masih kerap terjadi di bahkan seluruh wilayah Eks-Karesidenan Banyumas, yakni meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.

Pangkal dari segala permasalahan itu, ungkap Farid, tidak lain dari rendahnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat, mana layanan jasa keuangan yang benar secara regulasi dan tepat bagi prospek investasi.

Khususnya di wilayah perdesaan, dia menuturkan masyarakat umumnya memandang layanan jasa resmi hanya memiliki produk keuangan dengan nominal besar. Dengan begitu, kebanyakan masyarakat enggan memanfaatkan layanan tersebut baik sebagai investasi maupun pembiayaan.

Padahal, beragam bentuk investasi dan juga jenis pembiayaan dengan persyaratan mudah dan cepat sudah ditawarkan banyak lembaga jasa keuangan. Tidak hanya yang berskala makro, bentuk investasi dan penyaluran kredit mikro dengan nominal dana Rp100.000 pun sudah banyak tersedia.

“Bukan hanya besar, milIaran, tetapi juga yang mikro. Masyarakat tidak tahu, tapi ada. Akhirnya yang dipilih itu yang tidak jelas menyebabkan kerugian banyak,” Kata Farid.

Sebagai strategi lokal guna mengurangi ketergantungan masyarakat eks-Karesidenan Banyumas terhadap rentenir, Farid menjelaskan pihaknya bersama dengan bank perkreditan rakyat telah telah merancang produk kredit mikro dengan nominal di bawah Rp5 juta.

Senada dengannya, Deputi Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Nasabah OJK Sri Rahayu Widodo juga mengakui kuatnya pemanfaatan layanan jasa keuangan tidak resmi, seperti rentenir, menjadi buah dari rendahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia.

Survei OJK pada 2013 menunjukkan tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya mencapai 21,8%. Artinya, hanya 22 dari 100 orang yang paham tentang lembaga jasa keuangan dan produknya. Padahal, survei juga menunjukkan tingkat inklusi keuangan atau utilisasi layanan jasa keuangan berkisar 59,7% atau sekitar 60 dari 100 orang yang memanfaatkan layanannya.

Dibandingkan negara tetangga, kata Sri, Indonesia masih jauh tertinggal. Tingkat literasi di Singapura mencapai 98%. "Filipina di atas 30% dan Malaysia jauh di atas, sekitar 68%-70%."

Dari jumlah total masyarakat yang belum melek jasa keuangan, ungkap Sri, setengahnya berada di kawasan perdesaan dan wilayah terluar Indonesia. Tidak mengherankan, masyarakat di wilayah tersebut rentan terhadap layanan jasa keuangan tidak resmi.

Padahal, Sri menuturkan sudah ada banyak penyedia dan produk jasa keuangan, khususnya dengan segmentasi mikro di seluruh daerah tersebut. Namun, mayoritas masyarakat belum mengetahui dan memahaminya. “Data Badan Pusat Statistik menunjukkan 51% penduduk berada di daerah itu. Literasi daerah terpencil merupakan tantangan buat kita semua,” tegasnya.

Otoritas sebenarnya telah menyusun strategi nasional literasi keuangan Indonesia (SNLKI) sebagai panduan untuk merealisasikan target peningkatan indeks literasi keuangan, yang dipatok secara nasional meningkat 2% dalam setahun.

Dengan arah itu, Sri mengatakan pada tahun ini pihaknya menggenjot sosialisasi dengan sasara utama pelajar dan profesional. Di sisi lain, otoritas tetap akan memantau progres peningkatan literasi pada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dan ibu rumah tangga yang menjadi sasaran utama pada 2014.

Sejalan dengan itu, Sri mengungkapkan OJK juga akan menggenjot sosialisasi kepada masyarakat di perdesaan dan daerah terluar. Salah satu sarananya adalah penyelenggaraan pameran lembaga jasa keuangan yang pada tahun ini direncanakan berlangsung di 12 lokasi.

Di samping itu, sarana termutakhir yang diyakini mampu menekan pamanfaatan jasa rentenir dan baru saja diluncurkan OJK pada akhir Maret lalu adalah layanan jasa keuangan tanpa kantor atau Laku Pandai.

Sri mengatakan program Laku Pandai akan mendorong pemahaman masyarakat akan layanan jasa kuangan, khususnya di sektor mikro bagi masyarakat di derah perdesaan. Pasalnya, pada tahun ini secara nasional sudah ada beberapa bank yang berkomitmen terlibat dan menyediakan 30.000 agen yang siap ‘menjemput bola’, melayani masyarakat.

Di Banyumas sendiri, imbuh Sri, akan ada 500 agen yang siap melayani masyarakat tanpa perlu ke bank secara fisik. Dengan begitu, upaya otoritas untuk meningkatkan indeks literasi keuangan secara nasional diharapkan sejalan dengan penurunan jumlah penyalahgunaan jasa keuangan.

Semakin banyak masyarakat yang paham tentang layanan jasa keuangan yang baik dan benar, semakin minim potensi permasalahan keuangan.

“Seharusnya begitu. Hipotesisnya harus begitu, Semakin masyarakat well literate, berarti pada saat mengambil keputusan membeli produk jasa keuangan sudah paham, dan harapannya laporan permasalahan menurun.”

Dengan demikian, kisah pilu Dewi tak perlu terulang.

*Juga telah ditayangkan di http://semarang.bisnis.com/m/read/20150519/21/79081/url

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t