Langsung ke konten utama

INVESTASI DAERAH: Jateng Masih Jualan Potensi Listrik

Jawa Tengah masih menjadi magnet investasi sejumlah perusahaan di berbagai bidang industri. Upah tenaga kerja yang relatif lebih terjangkau menjadi incaran pengusaha, tetapi masalah muncul ketika bicara pasokan energi, lahan industri tidak sepenuhnya siap, serta perizinan yang tidak cepat.


Namun, wilayah dengan luas 3,25 juta hektare ini tetap dilirik pengusaha, baik untuk pengembangan maupun pembangunan lokasi usaha.

Setali tiga uang, lokasi industri mulai tumbuh dan meluas menjadi zona industri khusus. Beberapa di antaranya merupakan kawasan industri terpadu yang siap menerima investor.

Tidak hanya berpangku tangan, Pemerintah Provinsi Jateng terus berdandan dalam menyambut pinangan calon penanam modal. Pengembangan infrastruktur digalakkan, dari pendukung transportasi darat berupa jalan tol dan rel kereta api ganda, revitalisasi pelabuhan, hingga pembangkit listrik.

Di tengah euforia sebagai magnet investasi baru, infrastruktur digenjot. Sayangnya, soal ketenagalistrikan kurang beruntung. Seringkali terganjal. Pembebasan lahan lambat, penolakan lingkungan bertubi-tubi, hingga kisruh birokrasi perizinan.

Alhasil, pertumbuhan investasi Ja teng dihadapkan pada ancaman krisis energi, semakin nyata. Hanya jika kebutuhan daya untuk menjamu investor tidak segera disiapkan. Gubernur Ganjar Pranowo mengutip data PLN pernah bilang, setiap tahun pasokan listrik di Jateng menyusut 5%.

Alih-alih memenuhi kebutuhan industri yang terus bertumbuh, pasokan daya listrik bagi seluruh wilayah 35 kabupaten/kota diperkirakan tidak memadai lagi pada 2017.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jateng Teguh Dwi Paryono mengatakan keberadaan pem bangkit listrik baru sudah cukup mendesak untuk mengantisipasi krisis daya setrum pada tiga tahun mendatang. Beban puncak tertinggi pada 2014 mencapai 3.764 megawatt (MW), sedangkan daya terpasang baru 5.779 MW.

Idealnya, perbandingan beban puncak dengan daya terpasang harus ada energi cadangan lebih dari 2.500 MW. Jika tidak, ada pemadaman listrik secara bergilir.

Untuk mengantisipasi adanya ‘byar pet’ di wilayah Jateng, selama ini pasokan listrik di wilayah provinsi ini disuplai dari pembangkit listrik tenaga air Paiton, milik tetangga di Jawa Timur.

Dengan pasokan listrik yang terbatas itu, investor masih terus antre masuk Jateng, terbukti ada 13 pelanggan daya tegangan tinggi (TT) dari industri mengajukan pemasangan oleh Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jateng – DIY, untuk keperluan pabrik dengan kebutuhan 30 Mega Volt Amphere (MVA) hingga 200 MVA.

“Mayoritas industri semen, yakni di Rembang, Pati, Wonogiri, Grobogan. Mereka sudah menanti adanya pasokan listrik tambahan,” kata Teguh, Senin (13/4).

Sebelumnya, PLN juga merilis sejumlah investor pabrik tektil dan produk tekstil (TPT) mengajukan pemasangan jaringan tegangan tinggi, seperti di Kabupaten dan Kota Semarang, serta Kabupaten Boyolali.

Selama ini, perkembangan pembangkit yang disalurkan ke sistem kelistrikan Jateng dan DIY dapat dilihat dari saluran tranmisi 150 kV yang tersebar di jalur utara dari gardu induk Bojonegoro di Jatim dan gardu induk di Jabar dan jalur selatan dari gardu induk Ngawi Jatim dan gardu induk Banjar di Jabar.

Sebenarnya, data ESDM Jateng mencatat, pada 2015 ada penambahan daya dari PLTU Adipala di Cilacap yang akan masuk ke saluran transmisi 150 kV. Sementara itu, rencana PLTU berkapasitas 2x1.000 MW di Kabupaten Batang Jateng akan masuk saluran transmisi 500 kV yang beroperasi pada 2017.

Teguh menjelaskan Pemprov Jateng menilai pembangunan PLTU Batang yang masuk dalam MP3EI merupakan angin segar bagi ma - syarakat dan pelaku usaha di wilayah ini, setidaknya untuk mengantisipasi pemadaman bergilir hingga pemenuhan kebutuhan listrik industri.

PERATURAN PRESIDEN

Sudah diketahui, proyek pembangkir listrik itu kepentok soal pembebasan yang masih terus bergulir, hingga pembangunannya molor lebih dari setahun. Di sisi lain, dukungan pemerintah terhadap investor energi semakin kuat, diimplementasikan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 30/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tertanggal 17 Maret 2015, menyatakan pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dapat bersumber terlebih dahulu dari dana Badan Usaha selaku Instansi yang memerlukan tanah yang mendapat kuasa berdasarkan perjanjian, yang bertindak atas nama lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/ kota.

Soal ini, Dinas ESDM Jateng meyakinkan kalangan investor, khususnya sektor energi patut bergembira atas terbitnya Perpres tersebut. Dalam hal ini, pihak swasta murni dapat membangun pembangkit listrik asalkan dengan skema business to business. Kemudian, dapat menyerahkan proyek kepada pemerintah dalam kurun 25-30 tahun.

Investor berpandangan lain, perwakilan PT Jawa Energy Indoneisa (JEI) Hendriyanto, selaku penanam modal untuk PLTU Cilacap mengemukakan terbitnya perpres itu belum sepenuhnya menjadi jawaban atas keresahan swasta yang ingin membangun proyek pembangkit listrik di Indonesia.

Dia berpendapat, semestinya perpres itu dapat memberikan ruang gerak lebih luas bagi investor swasta untuk dapat mengelola proyek pembangkit listrik secara penuh tanpa campur tangan pemerintah.

“Itu swasta hanya dimintai nalangi [membayarkan] dana pembebasan tanah, setelah itu diganti oleh pemerintah. Dan proyeknya tetap menjadi milik pemerintah, buat apa?,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah seolaholah memanfaatkan swasta untuk mengeluarkan dana pembebasan lahan dalam setiap proyek pembangunan yang terkait kepentingan umum. Setelah itu, proyek diminta lagi oleh pemerintah.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta pembebasan tanah dalam proyek pembangkit listrik yang dilakukan swasta selanjutnya dikelola oleh swasta. Kemudian, dalam kurun tertentu ada perjanjian jual beli kepada pemerintah.

Investor memandang perpres seperti halnya dengan Undang Undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

“Bedanya, UU itu setiap proyek pemerintah swasta tidak boleh bebasin, sekarang perpres mengatur swasta boleh bebasin. Jadi swasta dimanfaatin pemerintah saja,” ujar Hendriyanto.

Sebagaimana diketahui, PT JEI berencana membangun proyek pembangkit listrik tenaga uap berkapasitas 5 x 1.000 megawatt di wilayah Cilacap. Proyek memanfaatkan lahan 120 hektar dengan investasi Rp90 triliun. Namun, hingga saat ini terganjal izin lokasi dari Pemkab Cilacap atas rekomendasi prinsip dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Meskipun sejumlah perizinan investasi listrik tercatat masih dalam proses persiapan dan terganjal permasalahan lahan, pemprov setempat optimistis wilayah Jateng masih seksi untuk tujuan investasi.

Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Jateng Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan pemerintah provinsi terus mendorong masuknya penanam modal baru ke wilayah ini. Investor energi menjadi salah satu sasaran untuk menanamkan modalnya.“Kepeminatan investor energi cukup banyak,” katanya.

Bahkan, secara khusus Gubernur Ganjar sempat menawarkan investasi bidang energi kepada tamu utusan Singapura saat bertandang ke Semarang, awal tahun ini. Ganjar mendorong pengembangan energi terbarukan khususnya proyek geothermal.

Gubernur dan jajarannya dalam berbagai kesempatan juga meyakinkan masyarakat kondisi listrik di wilayah setempat saat ini masih aman, meski pada kenyataannya tinggal menunggu waktu untuk mati listrik bergiliran.

Ekonom Universitas Diponegoro Semarang FX Sugiyanto memperkirakan, pengembangan industri baru di wilayah Jateng mampu mempercepat pertumbuhan dan operasionalisasi kawasan industri yang sedang dirintis.

Bahkan, rencana boyongan sejumlah pabrik baik mendorong pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan akses infrastruktur dan berbagai kebijakan terkait investasi.

Secara ekonomis, merangseknya industri ke Jateng ikut memacu potensi kenaikan upah buruh mencapai 10% di atas inflasi daerah. Tercatat saat ini upah baru tumbuh 5% diatas inflasi daerah.

Sugiyanto melihat sejumlah proyek pembangkit listrik di Jateng harus mengedepankan aspek sosial dengan prioritas layanan kepada masyarakat di lingkungan sekitar hingga warga mampu menikmati hasil pembangunan. Tidak melulu melihat sisi investasinya namun bagaimana kesejahteraan masyarakat di lingkungan proyek.

Jika ditilik keberpihakan Pemprov Jateng untuk menyisihkan alokasi anggaran pendapatan belanja dan daerah (APBD) khusus di bidang energi, terjadi peningkatan cukup signifikan pada 2010 dan 2011. Alokasi APBD untuk energi pada 2010 diangka Rp6,7 miliar. Selang satu tahun berikutnya, alokasi APBD melonjak menjadi Rp22,8 miliar. Angka tersebut terus bertumbuh setiap tahun hingga menembus Rp29,6 miliar tercatat pada 2014.

Sementara itu, dengan sumber daya yang ada, General Manager PT PLN (Persero) Distribusi Jateng -DIY Yugo Riatmo menyatakan hingga saat ini rasio elektrifikasi mencapai 89,88% yang meliputi pelanggan rumah tangga, bisnis, industri, sosial, dan lainnya.

Cakupan layanan tersebut akan terus tumbuh hingga 500.000 pelanggan setiap tahun, didorong peningkatan investasi sektor industri.

Data menyebutkan pertumbuhan kebutuhan daya listrik setiap tahun di Jateng - DIY mencapai 1.600 MW. Jumlah tersebut setara dengan dengan daya yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap yang dalam rencana dikembangkan di Kabupaten Batang.

“Dengan kebutuhan itu, semestinya setiap tahun kita harus membangun satu atau dua pembangkit dengan kapasitas yang sama seperti PLTU Batang,” ujarnya.

Sebagai opsi lain, pertumbuhan kebutuhan yang ada sebenarnya dapat dipenuhi dengan memanfaatkan sistem interkoneksi sehingga daya listrik dari pembangkit terdekat di wilayah lain dapat disalurkan ke Jateng dan DIY.

Kendati begitu, penyediaan daya itu sebaiknya menggunakan sumber daya yang terdekat, mengingat saat ini kapasitas yang dimiliki pembangkit listrik di Jateng, bahkan secara lebih luas di wilayah Jawa-Bali, masih cukup untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.

Namun, dengan pertumbuhan industri, semestinya bisa diantisipasi pertumbuhan industry 2-3 tahun ke depan. Untuk itu dia memastikan pentingnya penambahan daya yang mendesak untuk direalisasikan.

Manajer Bidang Distribusi PLN Jateng-DIY Andreas Heru Sumaryanto menjelaskan daya maksimal yang dapat diupayakan hingga saat ini mencapai kisaran 4.500 MW. Adapun, beban puncak daya listrik di wilayahnya mencapai 3.900 MW.

Jika tidak ada penambahan daya hingga 2017, kebutuhan kelistrikan di Jateng akan sulit dipenuhi. Pasalnya, perkiraan pertumbuhan kebutuhan daya mencapai 10% per tahun.

“Dalam dua atau tiga tahun lagi kurang,” tegas Andreas, “sekarang masih pas-pasan.”

Sejumlah proyek pengembangan pembangkit daya sebenarnya sudah direncanakan pemerintah khususnya dalam skema nasional fast track programme (FTP) baik tahap I maupun tahap II. PLTU Adipala berdaya 660 MW kendati prakiraan waktu operasional atau commercial operation date (COD) mundur dari semula akhir 2014, diyakini dapat beroperasi pada tahun ini dan menambah kapasitas penyediaan listrik Jateng - DIY.

Dua pembangkit daya dengan kapasitas masing-masing mencapai 2 x 1.000 MW, yakni PLTU Batang dan PLTU Jawa 4 akan memberikan tambahan daya yang sangat signifikan.

Sayangnya, kata Andreas, PLTU Batang yang terkendala penyediaan lahan harus dijadwalkan ulang pengembangannya dengan perkiraan COD pada 2019. Sedangkan, PLTU Jawa 4 dalam rencana FTP II baru akan beroperasi pada 2019.

Sejumlah pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dengan kapasitas lebih kecil juga sudah dijadwalkan hadir di Jateng dengan kisaran COD pada 2017-2020, yakni PLTP Baturaden (2 x 110 MW), PLTP Dieng (1 x 55 MW dan 1 x 60 MW), PLTP Guci (1 x 55 MW), PLTP Ungaran (1 x 55 MW), dan PLTP Umbul Telumoyo (1 x 55 MW).

*Tulisan ini ditulis bersama Muhammad Khamdi dan  Pamuji Tri Nastiti, serta telah tayang untuk Laporan Khusus di harian Bisnis Indoonesia, edisi 21 April 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t