Langsung ke konten utama

Angpau Dibalik Kostum Barongsai

Barongsai menjadi salah satu kesenian yang tidak terpisahkan dari perayaan Tahun Baru China. Geliat pertunjukan barongsai di Tanah Air, terutama di daerah-daerah tertentu yang lekat dengan budaya Tionghoa tersebut, secara langsung mendongkrak bisnis kostum barongsai. Selain untuk pertunjukan, barongsai juga kerap menjadi aksesori dan dekorasi. Angpau di balik bisnis ini cukup menggiurkan.


Permintaan pembuatan kostum barongsai yang digunakan untuk per tun  jukan atau sekadar aksesori dan dekorasi me  ningkat tajam menjelang Imlek.

Tak heran, bisnis yang sangat ken tal dengan kebudayaan Tionghoa ini terus berkibar dan bertahan lama. Apalagi, saat ini pasarnya su dah semakin besar dan tak hanya menyasar masyarakat keturunan China.

Salah satu perajin kostum barong sai yang telah menjalani bisnis tersebut sejak setengah dekade terakhir adalah Hartono.

Hartono mengawali bisnis ini dengan membuat kostum barongsai khusus anak-anak.
Pria yang akrab disapa Kelik ini memulai bisnisnya dengan modal sebesar Rp500.000. Dana itu digunakan untuk membeli bahan kain dan memproduksi sekitar 150 pasang kostum barongsai.

Saat itu, kostum buatannya hanya dijajakan di klenteng-klenteng de ngan menyasar orang-orang yang ber  ibadah. Tak disangka, kostum buat  an  nya laris manis. Bahkan, pe  minatnya bukan hanya dari masya  rakat keturunan Tionghoa, me  lain  kan dari kalangan masyarakat lainnya.

 “Sekarang yang paling banyak pesan malah dari masyarakat pribumi, melebihi pesanan dari masyarakat Tionghoa,” katanya.

Semakin lama, pesanan yang datang tak sekadar untuk pembuatan kostum barongsai anak, tetapi juga pesanan kostum barongsai dan naga untuk pertunjukan dari tim barongsai di berbagai klenteng. Kini, dalam sebulan Kelik bisa me nerima pesanan hingga 100 pasang kostum barongsai anak berbagai ukuran serta 30 kostum barongsai pertunjukan.

Untuk memenuhi pesanan terse but, Kelik dibantu oleh sembilan tenaga kerja dalam proses produksinya.

Proses produksi diawali dari pem buatan rangka dari bambu sebagai dasar bentuk kostum barongsai. Ke  mudian, dilanjutkan dengan pem  buatan dan pemotongan pola kain sesuai dengan desain yang diinginkan.

Setelah itu, kain dijahit dan diberi hiasan berupa rumbai-rumbai atau manik-manik supaya lebih menarik. Setiap kostum barongsai anak yang terdiri atas topeng singa hingga ekor dan celana rumbai dapat di pro  duksi dalam waktu satu hari, se dang  kan kostum pertunjukan mem butuhkan waktu hingga 10 hari.

“Proses yang paling lama untuk pembuatan topeng singa, karena butuh waktu mengeringkan bahan yang terbuat dari limbah kertas koran,” katanya.

Setiap kostum barongsai anak dijual seharga Rp30.000—Rp35.000 untuk celana rumbai, Rp25.000— Rp100.000 untuk topeng dan ekor, dan sebesar Rp70.000—Rp100.000 untuk satu set kostum.

Sementara itu, untuk satu set kos tum pertunjukan dengan bahan kain satin dan dihias payet dibanderol seharga Rp2 juta. Satu set kostum tersebut terdiri atas dua celana, dua pasang sepatu, topeng, dan ekor.

Kelik juga menerima pembuatan kostum barongsai custom yang har ganya akan disesuaikan dengan ukur  an dan bahan yang digunakan. Misalnya, untuk kostum barongsai anak ukuran XL, pembeli akan dikenai biaya tambahan sekitar Rp10.000.

“Margin keuntungan dari harga jual sekitar 20%—30%,” katanya.

Selain menjual secara langsung di workshop-nya dan secara online, Kelik juga memanfaatkan peran para reseller yang menjual ulang produknya. Dari sistem tersebut, dia pun mendapatkan pesanan berlipat dari luar Pulau Jawa.

 “Terakhir, kami mendapat pesanan dari pengelola mal di Medan dan Surabaya yang menginginkan kostum barongsai untuk dekorasi mal menjelang imlek," katanya.

Meskipun pesanan terus berdatangan, Kelik mengaku tetap membatasi produksi setiap bulannya. Langkah ini ditempuh sebagai upaya untuk mempertahankan kualitas produk yang dihasilkannya.

“Kalau terlalu banyak produksi, kemungkinan hasilnya tidak terlalu baik karena harus mengejar jumlah pesanan,” katanya.

Selama menjalani bisnis ini, beberapa kendala dihadapi Kelik, di antaranya adalah urusan tenaga kerja. Saat pesanan sedang membeludak, jumlah pegawai yang dimilikinya tidak mencukupi untuk memproduksi semua pesanan.

Dia juga mengaku pada Imlek ta  hun ini dia kewalahan karena permintaan terhadap kostum barong sai meningkat hingga tiga kalilipat dibandingkan dengan bulan biasanya.

“Apalagi kalau ada pegawai yang tidak masuk, susah untuk mengejar jadwal pengiriman yang dijanjikan,” katanya.

Untuk mengakali hal tersebut, Kelik sudah mulai memproduksi kostum untuk stok jauh sebelum Imlek. Dengan demikian, pada saat pesanan mencapai puncak, dia sudah memiliki barang jadi yang siap kirim.

Kelik melihat bisnis pembuatan kostum barongsai masih memiliki celah pasar yang besar. Toleransi beragama di Indonesia yang semakin baik menyebabkan kebudayaan Tionghoa juga ikut berkembang.

“Selain untuk melestarikan tradisi, fungsi kostum barongsai juga sudah semakin meluas sehingga siapapun bisa menggunakannya, misalnya untuk pesta kostum,” paparnya.

PESANAN MEMBELUDAK

Selain Kelik, pemain lainnya yang memproduksi kostum barongsai pertunjukan adalah Soetekno atau Oei Eng Tek yang mulai bergelut dalam pembuatan kerajinan Tionghoa itu pada 1970-an.

Bisnis tersebut telah diwariskan turun temurun dari orangtua nya sejak dia berumur 20 tahun hingga kini dirinya menginjak usia 65 tahun.

Soetekno mengatakan pada hari biasa permintaan berkisar dua hingga tiga barongsai per bulan, dan memuncak jelang perayaan Tahun Baru China hingga dua sampai tiga kali lipat.
Permintaannya pun tidak hanya datang dari Pulau Jawa, seper ti Surabaya, Malang, Kediri dan Pasuruan, tetapi dari Singkawang, Kupang, dan Papua.

“Tahun lalu, dari Singkawang pesan tiga unit, sekarang dua unit. Sebab di sana, sehabis acara ritual, barongsai akan dibakar. Jadi mereka selalu membutuhkan kostum baru setiap tahunnya,” katanya.

Sementara itu, proses produksi biasanya dilakukan oleh tiga hingga empat tenaga kerja yang masingmasing bertugas untuk menyiapkan bahan baku, seperti bambu, rotan, kawat, dan kertas; serta membentuk desain kepala barongsai dan menjahit kain.

Untuk harga, satu paket kerajinan ba rongsai buatannya dibanderol sekitar Rp2,5—Rp3 juta. Namun, dia mengakui patokan harga itu bisa fleksibel, bergantung kepada calon pembelinya.
“Kisaran harga saya tidak bisa dipegang. Ini fleksibel, nanti lihat kalau ada pembeli yang sudah berlangganan, kami kasih harga murah.”

Meskipun enggan menyebutkan secara detail berapa margin keuntungan yang dia peroleh, pria yang berdomisili di Semarang itu mengatakan laba yang dikantonginya cukup besar.
Pasalnya, bahan baku pembuatannya mudah didapatkan, dan harganya cukup terjangkau.

Selain membuat kostum pertunjukan barongsai dengan jenis kucing atau fusan yang merupakan model klasik dan banyak digunakan, dia juga membuat kostum model bebek yang lebih modern.

Ukuran kostum yang dibuatnya juga beragam, disesuaikan dengan ukuran badan pemain barongsai, mulai dari ukuran anak-anak hingga ukuran dewasa.

Dengan padatnya permintaan jelang Imlek, Soetekno mengaku seringkali kewalahan dalam proses pembuatan pesanan.

Pasalnya, pembuatan satu barongsai membutuhkan waktu kerja satu minggu. Untuk itu, dia mengaku seringkali menolak pesanan yang datang kepadanya.

“Sebenarnya ada keinginan untuk meningkatkan produksi dan omzet. Tapi, saya tidak mau karena saya sudah tua, lebih baik memaksimalkan yang sudah ada,” katanya.

Meski demikian, dia tetap optimistis bisnis yang digelutinya lebih dari empat dekade tersebut masih memiliki peluang besar untuk dikembang kan, terutama bagi kalangan muda yang bersemangat untuk terus me les  tarikan kebudayaan Tionghoa tersebut.



Ditulis bersama Nenden Sekar A. dan sudah dimuat di Bisnis Indonesia, edisi 18 Februari 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t