Langsung ke konten utama

Fantasi dalam Eyes Wide Shut



Ide fantasi memiliki ambiguitas yang mendasar. Menurut Lacan Fantasi adalah layar yang melindungi manusia dari perjumpaan dari the Real, akan tetapi fantasi itu sendiri secara paling mendasar—apa yang disebut Freud sebagai ‘fantasi fundamental’, yang menyediakan koordinat paling mendasar dari kemampuan subjek untuk berhasrat—tidak pernah dapat disubjektifikasikan dan harus tetap terrepresi agar dapat berfungsi.
Film Eyes Wide Shut (1999), karya terakhir sutradara ternama, Stanley Kubrick, yang didasarkan pada novel berjudul Traumnovelle (Dream Story) (1926), menyajikan suatu panggung bagi realita individu dalam fantasi.

Kisah film ini berawal dari perdebatan panjang, Dr. William Harford (Tom Cruise) harus mendengarkan pernyataan mengejutkan istrinya, Alice, (Nicole Kidman) yang mengaku bahwa ia pernah ber-fantasi tentang sebuah affair dengan seorang pria lain. Pengakuan tersebut tidak hanya mengejutkan William, namun pada akhirnya membuatnya terjebak pada sebuah malam panjang yang melibatkan sejumlah hal yang tidak pernah dibayangkannya, mulai dari pengakuan cinta dari wanita lain, seorang pelacur, ritual yang fuckin’ weird, orgy hingga ancaman kematian.

Untuk membahasnya tema fantasi dalam film Eyes Wide Shut, tulisan ini akan disusun dalam beberapa bagian. Diawali dengan suatu pemaparan singkat mengenai ‘Teori Lacan’ mengenai Fantasi, kemudian disusul dengan review singkat dari film ‘Eyes Wide Shut’, dan tulisan ini akan ditutup dengan suatu analisa singkat mengenai tema fantasi yang nampak dalam kisah film tersebut.

Teori Lacan tentang Fantasi[1]


Fantasi atau khayalan berfungsi paling penting dalam membantu menjaga keinginan (desire) terus berjalan. Keinginan adalah bahan hidup, fakta terpenting eksistensi manusia. Bagi Lacan, keinginan bukan merupakan keinginan internal individu, tetapi pengalaman yang disituasikan dalam konteks ‘kelainan’ (otherness). Fantasi membantu mempertahankan keinginan dengan membuatnya tetap. Fantasi dapat menghindarkan akibat traumatis karena terlalu terekspos pada the Other yang mengerikan—sukar dipahami dan tetap tinggal sebagai suatu misteri yang tidak terukur.
Fantasi sungguh-sungguh mengajarkan manusia untuk ber-hasrat (desire). Peran fantasi bergantung pada jalan buntu (deadlock) dalam seksualitas kita, yang ditunjukkan oleh Lacan dalam pernyataan Paradoksnya, “Tidak ada hubungan seksual”—artinya tidak ada jaminan universal bagi sebuah hubungan seksual yang harmonis dengan pasangannya. Setiap subjek harus menciptakan fantasinya masing-masing, sebuah formula pribadi (private) untuk hubungan seksual—hubungan dengan seorang wanita adalah mungkin hanya karena sang partner setia pada formula ini.
Keinginan yang ditampilkan dalam fantasi bukanlah hasrat subjek sendiri. Keinginan orang-orang lain di sekitar subjek dimana berinteraksilah yang ada dalam fantasi. Atau dengan kata lain; dalam fantasi terdapat hasat the other. Secara paling mendasar, fantasi memberitahu sang subjek tentang siapa itu sang-subjek bagi orang lain.
Paradoks ontologis, bahkan skandal fantasi terletak pada fakta bahwa fantasi meruntuhkan perlawanan standar antara ‘subjektif’ dan ‘objektif’. Tentu, secara definisi, fantasi tidak bersifat objektif, yakni merujuk pada sesuatu yang ada secara mandiri lepas dari persepsi subjek. Namun, fantasi juga tidak bersifat subjektif, artinya sesuatu yang termasuk dalam intuisi subjek yang dialami secara sadar sebagai hasil imajenasinya. Fantasi lebih termasuk dalam ‘kategori aneh dari subjektif yang objektif’—cara mengadanya benda-benda yang secara objektif tampak begitu, walaupun mereka tidak tampak begitu.
Biasanya khayalan-khayalan seorang subjek adalah variasi-variasi yang berkaitan mengenai satu tema. Fantasi dasar yang melahirkan variasi-variasi itu disebut oleh Lacan sebagai ‘fantasi pokok’. Karena fantasi-fantasi si subjek semuanya serupa, fantasi-fantasi itu mempunyai akibat meminimalkan variasi-variasi dalam hal makna; kalau tidak demikian, variasi-variasi itu akan menyebabkan suatu masalah bagi keinginan.
Contohnya demikian: Jika anda mengingini kekasih anda, tetapi kekasih anda ada di belahan bumi sebelah sana, apa yang anda lakukan? Mengapa keinginan anda tidak hilang, dalam ketidakhadiran objeknya? Bagaimana anda mencgah agar keinginan anda tidak menjadi kendur? Anda membawa masuk suatu mekanisme istimewa: fantasi, khayalan. Anda berfantasi bahwa anda ada bersama dengan kekasih anda.
Jadi fantasi beroperasi untuk menjaga supaya keinginan tetap, untuk melindungi keinginan dari perubahan terlalu banyak. Bila objek keinginan anda terlalu jauh, maka itu akan menjadi sebuah masalah; juga sebaliknya bila terlalu dekat, atau hadir terlalu lama, keinginan dapat mulai mengendur.
Lihatlah memudarnya minat seksual orang-orang yang saling mencintai sesudah bertahun-tahun hidup bersama. Keinginan dalam hal-hal seperti ini dapat dipertahankan lewat fantasi. Yang khas, orang-orang saling mencintai itu berfantasi—kadang-kadang secara tak disadari—bahwa mereka bermain cinta atau berhubungan seks dengan seseorang yang lain dari pasangannya. Buktinya ialah bahwa sudah umum mereka itu memanfaatkan pornografi. Seperti dikatakan Freud: “Aku membiasakan diri memandang setiap tindakan seksual sebagai proses yang melibatkan empat orang.” Dari sini kita sampai kepada konsep pokok Freud yang lain dan dikembangkan oleh Lacan, yakni transfer ‘pengalihan’.
Pengalihan adalah semacam terjemahan. Dalam pengalihan gambaran atau gagasan atas seseorang yang diproyeksikan kepada orang lain yang tidak meenjadi sasaran cintanya yang asli. Di situ ada juga pengalihan cinta atau benci dan mengandaikan pengetahuan pada orang yang baru, dan ada pula cinta yang membuat Sokrates memeluk erat kematian. Jika seseorang mempunyai ibu yang berhiung besar, dia barangkali akan menikahi wanita yang berhidung besar karena dia menimpakan kesalahan kepada istrinya itu; dia mengalihkan atau menerjemahkan cintanya terhadap ibunya pada istrinya.
Bila Lacan berkata: “Aku mencintai Justine, anjingku, karena ia tidak pernah keliru menganggap aku sebagai orang lain. Dalam hal ini, Lacan memaksudkan bahwa bilamana ada cinta, selalu ada identitas yang keliru, sebab bilamana ada cinta, ada permintaan, dan permintaan adalah permintaan akan sesuatu yang tidak ada.
Melalui cinta yang pertama, antara pengasuh dan bayi, bayi yang tidak berdaya membayangkan bahwa ada suatu objek yang istimewa, sesuatu yang akan tetap menjaga hubungannya dengan pengasuh yang berkuasa. Semua hubungan cinta lain yang timbul sesudah cinta yang pertama rupanya berdasarkan pada cinta yang pertama itu. Setiap hubungan cinta yang berikutnya tampak sebagai usaha untuk menghasilkan kembali apa yang menurut kepercayaan si bayi pernah dialaminya dalam hubungan dengan pengasuhnya.
Apakah objek ini, yang sedemikian penting bagi bayi-bayi, dan apa hubungannya dengan keinginan? Lacan menjawab bahwa itu adalah ‘fiksi’ (fantasi, khayalan), seseuatu yang tidak benar-benar ada kecuali sebagai semacam konvensi, tetapi itu tidak membuat kita berhenti mencarinya.
Dalam seni kontemporer, seringkali dijumpai usaha keras untuk kembali ke the Real,—dunia yang belum ditangkap oleh manusia atau arena yang belum terbahasakan; wilayah gelap yang tidak diketahui oleh manusia; Lacan menggambarkannya sebagai saat ‘kepenuhan’ atau ‘keutuhan’ (wholeness, unity) yang hilang ketika manusia masuk ke dalam bahasa—mengingatkan penonton atau pembaca bahwa ia melihat sebuah fiksi, membangunkan dirinya dari sebuah mimpi indah. Dalam sastra dan film, ada peringatan yang mengingatkan kita bahwa apa yang kita saksikan adalah hanya sebuah fiksi, seperti ketika para aktor di layar kaca menyapa kita secara langsung sebagai penonton, sehingga merusak ilusi ruang otonom dari fiksi naratif; atau penulis langsung ikut campur dalam naratif melalu komentar-komentar ironis.
Apa yang kita hadapi di sini adalah ambiguitas mendasar tentang ide tentang fantasi. Walaupun fantasi merupakan layar yang melindungi kita dari perjumpaan dengan the Real, namun fantasi sendiri secara paling mendasar—apa yang disebut Freud sebagai ‘fantasi fundamental’, yang menyediakan koordinat paling mendasar dari kemampuan subjek untuk berhasrat—tidak pernah dapat disubjektifikasikan dan harus tetap terrepresi agar dapat berfungsi.
Dan, bagi Lacan, tanggung-jawab etis terakhir adalah sebuah penyadaran sejati: artinya bukan hanya sadar dari tidur atau mimpi, tetapi juga sadar dari pesona fantasi yang mengendalikan kita bahkan ketika kita dalam keadaan sadar.

Eyes Wide Shut (1999)

“Eyes Wide Shut” bercerita tentang seorang dokter, Billy (Tom Cruise), yang menenggalamkan dirinya dalam sebuah petualangan malam hari yang membawanya ke sebuah tempat yang tidak terduga. Semua berawal dari pengakuan Alice, istrinya, yang menyatakan bahwa dirinya pernah berfantasi melakukan hubungan seksual dengan pria lain. Sakit hati karena pengakuan itu, Billy yang banyak dikagumi oleh wanita (termasuk putri dari koleganya, Marion (Marie Richardson), berusaha untuk melemparkan dirinya ke dalam kehidupan para penganut hedonisme dengan menuruti ajakan seorang pelacur bernama Domino (Vanessa Shaw). Namun, Billy yang memang bukanlah seorang pria yang suka ‘bermain-main’ dengan perempuan, selalu saja mengagalkan keinginannya sendiri untuk berselingkuh dari istrinya di tengah jalan.
Di dalam gejolak yang pasang surut tersebut, Billy pun bertemu dengan teman lamanya, Nick (Todd Field), yang bekerja sebagai seorang pianis di sebuah band. Di kafe tempat mereka bertemu, Nick memberitahunya tentang sebuah pesta amat sangat rahasia dimana semua orang yang hadir mengenakan topeng. Tertarik dengan pesta tersebut, Billy pun memutuskan untuk datang malam itu juga, Di sana, Ia melihat sebuah pesta seks rahasia yang begitu sakral hingga membuat penonton curiga bahwa pesta itu adalah pesta yang diadakan oleh sekte tertentu. Billy pun diperingatkan oleh satu dari sekian banyak wanita bertopeng untuk segera keluar dari tempat itu karena nyawanya bisa terancam.
Film ini secara keseluruhan sungguh memunculkan aura klasiknya. Hal ini dapat dilihat dari cara pergerakan kameranya dan juga dari plotnya dimana struktur 3 babak dalam film ini begitu mudah dicerna, tapi tetap memiliki kekuatan untuk mempersona penonton. Stanley Kubrick banyak menggunakan tracking shot yang elegan dalam film ini.
Perjalanan satu malam yang dialami Billy tampak menjadi begitu aneh, misterius, dan sensual dengan pacing yang amat sangat dijaga oleh Stanley agar penonton dapat perlahan-lahan melebur dalam petualangan itu sendiri. Nuansa noir juga terasa kental saat Billy merasa diikuti oleh seorang pria di malam setelah Ia menghadiri pesta itu. Setiap shot begitu jelas memperhatikan para aktor karena semua figuran tidak pernah terlihat berjalan menghalangi kamera Stanley dalam mengikuti gerakan aktor-aktornya.
Akting dari Tom Cruise dan Nicole Kidman yang saat itu masih menikah juga menarik. Akan tetapi, meskipun Tom adalah karakter utama dalam cerita ini, justru Nicole banyak mencuri scene. Ekspresi, gestur, dan intonasi dari kata-kata karakter Alice membangun mood cerita ini. Di awal film, saat adegan pesta di rumah kolega Billy, Victor Ziegler (Sydney Pollack), Alice digoda oleh seorang pria yang jauh lebih tua darinya bernama Sandor (Sky Dumont). Alice yang sadar bahwa Sandor hanya ingin membawanya ke ranjang, justru memutuskan untuk bermain dengannya. Hal ini nampak dalam dialog berikut ini :
Sandor : “Are you here with anyone, Alice?”
Alice : “With my… (pause) husband.”
Tak lama kemudian, Sandor dan Alice pun berdansa. Kemudian, Alice memperhatikan dua orang wanita yang menggoda Billy di koridor. Sandor pun bertanya :
Sandor : “Someone you know?”
Alice : “My… (pause) husband.”
Kata “husband” yang dipisah dengan waktu dan intonasi sedemikian rupa dari kata “my” merupakan bentuk pernyataan bahwa Alice tidak sekedar ingin menggoda Sandor, tapi juga untuk menggoda dirinya sendiri untuk mengetahui sampai seberapa jauh ia bisa bermain-main dengan pria lain.
Pesta seks dalam film ini menunjukkan suatu petualangan nyata yang dialami Billy sebagai bentuk pengimbangan dari fantasi Alice yang tidak kalah liar dari kenyataan yang dialami Billy dalam pesta tersebut. Petualangan psychosexual, baik nyata maupun mimpi, adalah inti dari cerita ini.
Karakter dokter Billy cukum impressif. Saat Alice mempertanyakan apa yang dipikirkan Billy ketika menyentuh tubuh pasien wanitanya, Billy dengan yakin menjawab bahwa dia tidak memikirkan tentang seks. Menarik bahwa Alice menyatakan bahwa Billy terlalu naif saat mengatakan bahwa wanita tidak mungkin berfantasi tentang seks seperti pria. Dengan sangat baik, Stanley menampilkan dua pemikiran berbeda antara Billy dan Alice tanpa membuat salah satunya tampak lebih superior.
Film ini tidak akan sekuat ini tanpa scoring yang memperkuat nuansa dingin, misterius, aneh, dan sensual tersebut. Satu nada dari piano dipisahkan dengan rentang waktu yang cukup dengan satu nada piano berikutnya untuk membangun suasana dan emosi cerita. Terkadang satu nada tinggi menyeruak beberapa kali pada beberapa shot dan membuat penonton tetap terjaga selama mengikuti plot film ini.

Fantasy dalam Film Eyes Wide Shut

Ide fantasi memiliki ambiguitas yang mendasar. Menurut Lacan Fantasi adalah layar yang melindungi manusia dari perjumpaan dari the Real, akan tetapi fantasi itu sendiri secara paling mendasar—apa yang disebut Freud sebagai ‘fantasi fundamental’, yang menyediakan koordinat paling mendasar dari kemampuan subjek untuk berhasrat—tidak pernah dapat disubjektifikasikan dan harus tetap terreepresi agar dapat berfungsi.
Dalam film Eyes Wide Shut, karya Stanley Kubrick, cukup menyajikan suatu panggung realitas yang diwarnai dengan fantasi. Alice, (Nicole Kidman) akhinya mengaku kepada suaminya bahwa ia pernah ber-fantasi tentang sebuah affair dengan seorang pria lain. Menurut Lacan, hal ini bersifat khas. Orang-orang yang saling mencintai itu juga berfantasi. Kadang-kadang secara tak disadari, mereka bermain cinta atau berhubungan seks dengan seseorang yang lain dari pasangannya.
Dr. William Harford (Tom Cruise) yang harus mendengarkan pernyataan mengejutkan istrinya, pada akhirnya terjebak pada sebuah malam panjang yang melibatkan sejumlah hal yang tidak pernah dibayangkannya, mulai dari pengakuan cinta dari wanita lain, seorang pelacur, ritual yang fuckin’ weird, orgy hingga ancaman kematian. Ia juga mulai terbawa dalam fantasi. Dalam hal ini, keinginan yang ditampilkan dalam fantasi bukanlah hasrat subjek sendiri. Keinginan orang-orang lain di sekitar subjek dimana berinteraksilah yang ada dalam fantasi. Atau dengan kata lain; dalam fantasi terdapat hasat the other. Secara paling mendasar, fantasi memberitahu sang subjek tentang siapa itu sang-subjek bagi orang lain.
Pada akhirnya film ini ditutup dengan suatu kesimpulan yang nampaknya vulgar. Setelah William mengaku pada Alice tentang petualangan malamnya dan mereka berhadapan dengan fantasi mereka yang berlebihan, kemudian Alice—setelah memastikan bahwa mereka sudah sadar sepenuhnya, kembali ke keseharian biasa, jika untuk tidak selamanya, paling tidak untuk waktu yang lama, mereka akan tinggal di sana, bertahan dan melawan fantasi tersebut—mengatakan kepada William bahwa mereka harus melakukan sesuatu sesegera mungkin. ‘Apa?’ tanya William dan jawaban Alice adalah “Fuck”. Dan film ini pun berakhir. Bagi Lacan, tanggung-jawab etis terakhir adalah sebuah penyadaran sejati: artinya bukan hanya sadar dari tidur atau mimpi, tetapi juga sadar dari pesona fantasi yang mengendalikan kita bahkan ketika kita dalam keadaan sadar.
***




[1] Bagian ini saya sarikan dari dua sumber pokok: pertama, dari buku Psikologi Film karya Dr. Matius Ali [Jakarta, FFTV IKJ, 2010], khusunya Bab. VII, dan kedua, dari buku Lacan for Beginners karya Philip Hill [Writers and readers Publising, inc., 1997].

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t